Toxic positivity? Apaan tu?
Apa aja dampaknya? Dan gimana cara mengatasinya?
Simak selengkapnya di artikel ini…

Hubungan kita dengan orang lain, biasanya merupakan representasi dari hubungan kita dengan diri sendiri.
Jika hubungan kita dengan diri sendiri baik, ada saling percaya, ada kejujuran, dan keterbukaan pada diri sendiri. Maka biasanya kita juga akan punya hubungan yang baik dengan orang lain.
Namun jika dengan diri sendiri saja kita tidak jujur, maka biasanya dengan orang lain pun akan demikian.
Jujur dan terbuka pada diri sendiri itu memang penting banget.
Sebab dari sanalah kita bisa percaya pada diri sendiri.
Dan pada akhirnya membangun konsep diri yang positif.
Konsep diri yang positif inilah yang akan terpancar keluar dan terlihat oleh orang lain. Terutama terlihap pada saat kita berkomunikasi dengan orang lain.
Kita jadi jujur dan bisa dipercaya.
Jujur dan terbuka pada diri sendiri itu sesimple kamu mengakui kalo kamu lagi sedih, atau lagi marah, kecewa dan galau.
Menerima hal itu sebagai bagian dari hidup kita sebagai manusia yang normal.
Permasalahannya banyak orang yang gak bisa jujur pada dirinya sendiri. Sekedar menerima dan mengakui emosi negatifnya saja gak mau.
Kenapa?
Sebab ia ingin selalu terlihat kuat. Ia harus selalu berpikir positif dan setiap kondisi.
Sampai-sampai ia merasa tersiksa setiap kali merasa emosi negatif, seperti marah, sedih atau kecewa. Ia merasa bahwa perasaan seperti itu adalah dosa. Dan gak boleh dibiarkan.
Baca juga: Cara mengelola emosi negatif!
Masalahnya, emosi seperti itu makin dibiarkan makin besar.
Sebab dalam dunia psikologi, kapanpun pikiran sadar (logika) dan pikiran bawah sadar (emosi) ini bentrok, maka yang menang pasti selalu pikiran bawah sadar.
Sebagai contoh, ada orang yang lagi sakit hati diputusin pacarnya (ini emosi).
Tetapi karena dia memaksa diri untuk selalu berpikir positif (logika), maka semakin ia coba untuk melawan emosinya, makin besarlah emosi itu jadinya.
A Journey to Toxic Positivity
Saya pernah merasa kehilangan keterhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Berasa semua asing bagi saya. Saya tidak bisa memahami diri sendiri, juga tidak bisa memahami orang lain. Kala itu semua seperti “tanda tanya besar” bagi saya.
Saya merasa sulit berkomunikasi dengan orang lain. Sulit membangun relationship yang baik.
Awalnya saya berpikir, itu lantaran sikap pemalu dan introvert saya. Sebab memang dari kecil saya tumbuh jadi anak yang pemalu, pendiam dan introvert.
Tapi belakangan saya merasa ada yang beda. Dulu memang saya pemalu, tetapi saya tetap punya sahabat. Dan saya bisa nyaman ngobrol dengan orang yang saya percaya. Tapi kali ini saya merasa gamang. Saya kehilangan jati diri.
Bahkan dengan orang terdekat pun seperti tidak ada “feel“-nya.
Semua seperti sekedar orang yang harus diajak ngobrol.
Setelah mencari tahu, ternyata saya mengalami apa yang disebut dengan Toxic Positivity. Semacam ketidakjujuran pada diri sendiri. Di mana saya memaksa diri untuk selalu terlihat “baik-baik aja” padahal sejatinya saya sedang rapuh dari dalam.
Jadi ceritanya, sejak kuliah saya adalah orang yang gemar baca buku-buku motivasi dan pengembangan diri. Saya lahap ratusan judul buku di bidang tersebut, mulai dari yang dalam negeri sampai dari luar negeri.
Dan ternyata itu berdampak baik pada diri saya. Kepercayaan diri meningkat, semangat dan optimisme pun membahana. Seakan semua bisa saya hadapi dan saya pasti bisa berhasil. Singkatnya saya sangat positif.
Masalah muncul ketika pelan-pelan saya mengalami kejatuhan. Up and down dalam kehidupan itu sejatinya wajar. Tetapi karena saya cuma punya positivitas dalam diri, jadi saya menyikapi semuanya dengan positivitas. Atau mungkin memaksa diri menjadi positif.
Ya, sama kaya seorang tukang bangunan yang cuma punya palu sebagai alat. Maka segala sesuatunya ia perlakukan seperti paku. Pokoknya semua harus dipukul rata.
Hingga pada titik nadir, saya harus kehilangan segalanya. Kehilangan pekerjaan, bisnis, tempat tinggal, sampai yang paling perih adalah kehilangan kedua orang tua pada saat yang hampir bersamaan. Hanya selang 4 bulan setelah ayah saya meninggal akibat kanker limpoma, ibu saya menyusul.
Meski runtuh, saya berusaha menghadapi semuanya dengan positif. Saya tetap senyum. Saya harus terlihat kuat. Saya berusaha untuk bilang pada semua orang, “saya baik-baik aja” kok.
Sejak saat itu, saya tak pernah mengeluarkan apapun yang saya rasa. Saya bahkan mengabaikan emosi negatif saya. Saya menolaknya ada. Pada semua orang saya sunggingkan senyum palsu dan semangat semu.
Dan ya, masalahnya adalah semakin ia ditolak, dampaknya akan semakin besar.
Awal-awal memang semua terlihat baik-baik aja. Seakan saya merasa ya saya mampu menjalani semua ini dengan positivitas.
Tetapi lama kelamaan dampak sampingannya terasa. Saya semakin lama merasa semakin kehilangan koneksi dengan orang lain. Sulit membangun persahabatan yang jujur. Semuanya terasa hambar. Teman dan pasangan sekedar orang yang harus saya ajak ngobrol dalam lingkaran hidup saya.
Tetapi gak ada feelnya. Gak ada keterhubungannya. Bukan untuk berbagi rasa dan kepedulian.
Dan makin lama makin gak nyambung. Saya makin sulit berkomunikasi sama orang baru. Kadang saya tidak nyambung kalo diajak ngobrol. Sulit memahami apa yang orang lain maksud. Begitupun orang kesulitan memahami saya.
Itulah Toxic Positivity.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah ketika kamu menggunakan pemikiran positif secara berlebihan untuk menyikapi setiap keadaan. Seakan itulah satu-satunya cara menjalani hidup.
Kamu memaksa diri untuk selalu positif, sebab berpikir negatif atau menggelayuti diri dengan perasaan negatif itu adalah dosa dan kejahatan. Bentuk tidak bersyukur kepada rahmat Tuhan. Dan kamu enggan untuk itu, karena kamu khawatir akan menarik lebih banyak energi negatif dalam hidupmu.
Padahal tak ubahnya segala hal, emosi positif seperti senang, optimis dan sebagainya, jika digunakan berlebihan pun akan berdampak buruk. Itulah mengapa disebut toxic atau beracun. Sebab bukannya membantu menyelesaikan masalah, tetapi justru memperkeruh keadaan.
Dan inilah yang berbahaya, sebab emosi negatif yang tidak tersalurkan itu, yang akan membuat kita kehilangan jati diri.
Bukankah emosi negatif itu adalah pembawa pesan akan apa yang dialami tubuh ini?
Kenapa Orang Mengalami Positivity Berlebihan?
Menurut para pakar, alasannya bisa beragam.
Tapi yang paling umum adalah karena stigma dan anggapan di masyarakat bahwa emosi negatif itu buruk.
Bahwa tidak bersyukur atas kondisi yang kita alami dan tidak bisa melihat sisi positif segala sesuatu, itu adalah dosa dan kejahatan.
Hal ini diaminkan oleh seorang psikolog dari Harvard Medical School, Susan David penulis buku Emotional Agility, bahwa dari hasil study yang dilakukannya terhadap lebih dari 70.000 responden, sebanyak lebih dari sepertiganya menghakimi diri sendiri ketika mengalami emosi negatif.
Jadi mau gak mau ya kita harus selalu berpikir positif.
Belum lagi, banyak buku-buku motivasi yang justru semakin memperkuat anggapan ini. Bahwa segalanya bisa jika kita berpikir positif. Bahwa pikiran kita menarik hal-hal yang dialaminya, karena itu, jika kita ingin mendapat kehidupan yang baik, maka kita juga harus berpikir positif setiap saat.
Terlebih di era serba social media seperti saat ini, dimana kita setiap hari melihat postingan dari teman-teman kita atau dari para influencer tentang hidup yang positif, bahwa kita harus selalu bahagia dan bersikap positif setiap saat, bikin stigma ini makin kuat.
Padahal emosi positif yang dipaksakan bisa berdampak negatif. Baik secara psikis maupun secara fisik.
Baca juga: Cara menghilangkan pikiran negatif menurut sains
7 Tanda Kamu mengalami Toxic Positivity
Untungnya, toxic positivity bisa dikenali tanda-tandanya, sehingga dengan begitu kita bisa menyadari dan mengatasinya.
Menurut para ahli dari thepsychologygroup.com, ada setidaknya 7 tanda seseorang mengidap toxic positivity dalam hidupnya:
- Menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya
- Berusaha berprinsip untuk “life must go on” dengan mengabaikan emosi negatif yang dirasakannya.
- Merasa bersalah atas emosi negatif yang dirasanya.
- Suka meremehkan/menggampangkan pengalaman buruk orang lain dengan kata-kata atau quotes positif
- Cenderung menghakimi orang lain dan tidak berempati
- Menyalahkan dan mempermalukan orang lain karena mengekspresikan rasa frustrasi mereka
- Berusaha menghilangkan hal-hal yang mengganggu dengan kata-kata seperti, “Ya memang begitulah adanya.”
Dampak Buruk Toxic Positivity Terhadap Kesehatan mental
Setidaknya ada 3 dampak yang paling umum dari positivitas beracun ini.
- Perasaan rendah diri
- Tekanan bathin
- Isolasi diri & relationship yang buruk dengan orang lain.
Perasaan Rendah Diri
Perasaan malu, minder, rendah diri & insecure, adalah salah satu jenis perasaan yang paling gak nyaman buat manusia.
Penulis dan peneliti, Brene Brown, dalam beberapa bukunya pernah menulis bahwa sumber dari perasaan rendah diri itu adalah diam, kerahasian dan penghakiman.
Maksudnya, ketika kita menyembunyikan perasaan kita dan menyalahkan diri sendiri karena mengalami perasaan itu, justru akan menyebabkan kita merasa rendah diri dan insecure.
Kenapa?
Sebab ketika kita menampilkan topeng, atau berpura-pura baik-baik saja pada saat hati kita sedang rapuh, bukankah itu berarti kita membohongi diri sendiri. Bahwa kita sendiri tau kalo kita sedang rapuh, sangat rapuh. Dan memang itulah yang terjadi.
Baca juga: 5 Alasan Kamu Gak Percaya Diri. Temukan & Atasi Akar Masalahnya!
Tekanan Batin & Psikosomatis
Beragam study di bidang psikologi menunjukkan bahwa menyembunyikan atau mengabaikan emosi negatif justru menyebabkan kita semakin stress dan menurunkan kemampuan alamiah kita untuk menghadapi stress berikutnya.
Sebuah study misalnya. Dimana responden dibagi ke dalam 2 kelompok diminta untuk menonton sebuah film tentang prosedur medis yang mengganggu sambil diukur respon stressnya(seperti detak jantung, pupil, dan produksi keringat).
Kelompok pertama diperbolehkan untuk mengekspresikan emosi mereka ketika menonton film tersebut, sementara kelompok kedua diminta untuk bertindak seolah-olah tidak ada apa-apa yang mengganggu mereka.
Hasilnya kelompok kedua, yang menaham reaksi emosionalnya menunjukkan reaksi fisik yang lebih tinggi.
Ketika emosinya ditekan, tubuhnya bereaksi secara fisik, dan sress mencuat dari dalam.
Baca juga: (Filosofi Teras) Cara Mengelola Stress Ala Filsuf Yunani
Hubungan Sosial Yang Buruk
Ketidakjujuran pada diri sendiri, membuat kita kehilangan diri yang autentik. Kita menjadi kehilangan koneksi dengan diri sendiri. Dan sebagai dampaknya, kita juga kehilangan koneksi terhadap orang lain.
Begitupun orang lain, mulai sulit membangun hubungan dengan diri kita.
Dari luar kita kelihatan begitu tegar.
Tapi sejatinya dari dalam sangat rapuh. Permasalahannya, orang tidak bisa menyentuh kita dari dalam, karena kita menghalangi orang dari luar diri kita.
Seperti yang saya sebutkan diatas, kita jadi kehilangan hubungan sosial yang baik dengan orang lain.
Cara Mengatasi Toxic Positivity
Satu-satunya cara mengatasi toxic positivity adalah dengan menerima setiap kondisi kita dengan ikhlas. Rasa sedih, kecewa, marah, ataupun rasa senang, semuanya adalah emosi wajar manusia.
Baik atau buruknya, tergantung bagaimana kita mempersepsikan emosi tersebut.
Emosi negatif, bisa menjadi baik jika kita paham pesan yang ingin disampaikannya pada saat tersebut. Sebaliknya emosi positif bisa jadi buruk ketika kita menggunakannya berlebihan.
Jika kamu terlanjur punya kebiasaan memaksa diri untuk selalu positif setiap saat, walau dalam kondisi buruk sekalipun, sudah saatnya kamu belajar untuk melepaskan ego itu.
itu tidak akan membuatmu berdamai dengan diri sendiri. Itu juga tidak membuatmu menjadi manusia yang utuh. Belajarlah untuk menerima setiap perasaan yang kamu rasakan.
Menerima emosi negatif, kemudian mengelolanya jauh lebih baik ketimbang mengabaikannya. Atau berpura-pura seakan itu tidak terjadi.
Kesimpulan
Pada intinya, it’s normal to feel bad. It’s human.
Gak apa-apa kok kalo kita merasa sedih, kita merasa down. Terima itu dengan iklas. Nikmati. Dan syukuri.
Tidak perlu berpura-pura untuk selalu tampil hebat. Padahal hatinya ambyar!
Setuju?
Share pendapatmu di komentar ya!
Wah! Mantep banget ini. Saya juga pernah mengalami Toxic Positivity, selalu harus merasa positif dan harus selalu baik. Tapi ternyata melelahkan. Sampaikan akhirnya saya menerima semuanya.
Saya juga setuju sekali dengan statement di awal tulisan ini. Ketika kita ngobrol dengan orang lain dan nggak nyaman, bisa jadi orang itu sedang nggak nyaman.
Sangat bermanfaat Mas Rhidwan.
Betul banget… btw terima kasih mas dika sudah mampir di sini…