
Swedia dikenal sebagai salah satu negara berpenduduk paling bahagia di dunia.
Pertanyaannya, Apa rahasianya?
Demi mencari tahu, banyak orang yang kemudian mencoba memetakan apa saja prinsip dan falsafah hidup yang dijunjung oleh para swedish itu..
Dari sana, didapatlah falsafah hidup; LAGOM!
Apa itu LAGOM?
Lagom adalah sebuah pepatah yang artinya adalah “pas.” Tidak lebih dan tidak kurang. (Not too much. Not too little. Just right!)
Istilah ini, bagi orang swedia bukan sekedar istilah. Tetapi pedoman menjalani kehidupan. Mereka menggunakan prinsip lagom dalam segala aspek kehidupan mulai dari, makan, berpakaian, bekerja, bersosialisasi, sampai pada mendesain rumah, kantor, produk dan brand.
Niki BrantMark, dalam bukunya, Lagom: The Swedish Art of Balance Living, menulis, “Swedish people take their time. They stop, they look, they listen and they wait. The beauty of slowing down, I’ve learned, is that it helps you be more in the moment and enjoy the simple pleasures in life.“
(Orang-orang swedia menikmati waktu mereka. Mereka berhenti, mereka melihat, mereka mendengarkan dan mereka menunggu. Keindahan dari memperlambat gerakan, yang saya pelajari adalah, bahwa anda bisa menjadi lebih terikat dengan moment dan menikmati kebahagiaan sederhana dalam hidup.)
Demikianlah mengapa swedia kemudian selalu masuk dalam daftar negara paling bahagia di dunia.

Asal-Usul Kata Lagom
Lagom berasal dari kata “Laget Om” pada masa bangsa viking. Menurut Peter Berlin, dalam bukunya “Xenophobes guide to the Swedes,” pada masa perang, para prajurit viking akan berkumpul di tungku perapian sambil meminum mead (minuman beralkohol dari madu). Minuman itu akan dioper untuk masing-masing anggota tim, sembari meneriakkan kata “Laget Om” yang artinya “Di kalangan Tim”.
Ini bermakna semua orang akan kebagian, jika masing-masing orang mengambil bagiannya yang cukup.
Sejak saat itu, kata Laget Om pada akhirnya disingkat menjadi kata Lagom. Namun makna dan spirit kata itu tetap dipertahankan hingga kini. Yakni kecukupan, keseimbangan, pas, tidak lebih dan tidak kurang.
Meningkatnya Trend Gaya Hidup Lagom
Nampaknya di jaman yang serba instan ini, ada kecenderungan orang-orang millenial dalam mencari alternatif gaya hidup yang lebih humanis. Barangkali orang sudah makin muak dengan gaya hidup serba hedonis yang menjunjung tinggi egoisme, kenyaman dan kepuasan pribadi semata.
Seperti gaya hidup hygge dari denmark dan norwegia, yang memusatkan segalanya pada aspek kenyamanan dan kepuasan pribadi.
Karena itu gaya hidup yang mengusung minimalitas dan work-life balace, begitu digandrungi belakangan ini.
Di toko buku, kita melihat buku-buku bertema seperti ini begitu banyak bermunculan. Seperti buku “Goodbye Things – Gaya Hidup Minimalis Ala Orang Jepang“, karya Fumio Sasaki.
Begitupun dengan gaya hidup Lagom. Bahkan BBC melaporkan, google telah mencatat kenaikan pencarian kata lagom. Bahkan dalam tiga bulan terakhir, kata tersebut telah ditweet lebih dari 13.500 kali.
Bahkan majalah ternama seperti VOUGE dan ELLE juga menyebutkan bahwa sejak tahun 2017, trend gaya hidup terbaru telah bergeser pada kata skandinavia tersebut.
Profesor Jaime Kurtz, seorang psikolog dari James Madison University di Virginia, dikutip DailyMail.co.uk, menyebutkan “Lagom adalah gaya hidup yang memang sangat tepat untuk sekarang.”
Praktek Gaya Hidup Lagom Dalam Kehidupan dan Pekerjaan
Gaya hidup lagom nampaknya terbukti memberikan keseimbangan dan kebahagiaan hidup orang-orang swedia.
Dikutip dari lifehacker,com, Lola Akinmade Åkerström, penulis buku Lagom: The Swedish Secret of Living Well, mengatakan, “Coba pikirkan- segala sesuatu yang bisa mengurangi stress seperti perencanaan, konsensus, keputusan, keadilan, struktur kerja yang datar, dll. — Sering kali identik dengan budaya bisnis Swedia.“
Sekarang mari kita lihat bagaimana orang-orang swedia mempraktekkan gaya hidup lagom dalam kehidupan, pekerjaan dan bisnis mereka:
Lagom dalam Pekerjaan: Bekerja yang pas
Orang-orang swedia tidak bekerja lebih dari 50 jam seminggu. Menurut mereka, jika itu terjadi malah pekerjaan menjadi tidak efektif dan tidak produktif. Sebaliknya mereka menggunakan waktu jeda dan istirahat untuk me-recharge energy.
Inilah kunci produktivitas yang sesungguhnya.
This what I believe: “Menjadi produktif bukan berarti harus bekerja lebih banyak. Bukan juga berarti bekerja sesui pakem waktu yang ditetapkan orang kebanyakan. Justru bekerja haruslah menyesuaikan dengan diri dan gaya anda. itulah prinsip lagom dalam bekerja.”
Menurut David Brudö, seorang CEO dari aplikasi kesehatan mental swedia, Remente, Anda bisa mempraktekkan gaya hidup lagom dalam pekerjaan dengan memecah tugas-tugas besar menjadi bagian-bagian kecil untuk diselesaikan pada waktunya. Ini memberikan anda sense of accomplishment. Dan itu penting.
Perusahaan sekelas IKEA pun paham betul akan hal ini. Karena itu mereka kemudian membuat “Live Lagom Project,” Sebuah gerakan yang mengajak konsumen mereka untuk mempraktekkan gaya hidup lagom.
Ini menarik, sebab kita tahu IKEA adalah perusahaan yang bergerak di bidang furniture dan perabotan rumah. Mengajak pelanggan untuk menggunakan perabotan yang pas, tentu berpotensi mengurangi tingkat pembelian orang-orang terhadap produk mereka.
Tapi, faktanya ide ini kemudian sukses dan mendapat tanggapan positif di masyarakat. Ribuan orang kini bergabung dalam Live Lagom Community mereka, dan tentu ini adala angin segar buat IKEA.
Lagom dalam kehidupan: Hidup yang Pas
Selain di tempat kerja, lagom lebih banyak dipraktekkan di kehidupan sehari-hari.
Makan misalnya, orang-orang swedia terbiasa mengambil makan yang cukup dan pas dengan porsi mereka. Dan itu artinya tidak membuang-buang makanan sisa.
Sekarang, berapa banyak di Indonesia punya kebiasaan menyisakan makanan?
Saya jadi teringat dengan cerita seorang kawan yang pernah berkunjung ke swedia. Ketika makan di salah satu restoran, -mungkin karena kelaparan- mereka memesan terlalu banyak makanan.. Alhasil makanan tersebut tersisa.
Semua orang memandangi mereka dengan tatapan yang aneh. Tiba-tiba kemudian seorang wanita tua, datang menghampiri mereka. Dan marah-marah. Teman ini protes, “Tapi kami membeli dengan uang kami sendiri.“
Wanita tua ini menjawab, “Pesan hanya yang sanggup anda makan! Uang itu milikmu. Tapi sumber daya alam ini milik bersama. Ada banyak orang di dunia ini kekurangan. Tidak ada alasan untuk mensia-siakan makanan tersebut.“
Saatnya Menjalani Gaya Hidup Lagom
Sebenarnya masih begitu banyak contoh penggunaan gaya hidup lagom dalam kehidupan sehari-hari orang swedia yang bisa kita urai. Namun mengetahui esensinya, bahwa menjalani hidup yang pas, tidak lebih dan tidak kurang ternyata memberikan kebahagiaan dalam hidup.
Kita bisa belajar, bahwa barangkali inilah yang kita butuhkan selama ini. Bicara kebahagiaan hidup, bicara produktivitas kerja, nampaknya poinnya adalah sama. Menjaga keseimbangan dan keadilan.
Lagom mengajarkan kita akan makna-makna itu.
Sebagaimana Anna Brones, menulis dalam bukunya, Live Lagom: Balanced Living the Swedish Way, “Applying a sense of lagom to our everyday lives—in what we eat, what we wear, how we live, how we work—might just be the trick for embracing a more balanced, sustainable lifestyle that welcomes the pleasures of existence rather than those of consumption.”
(Mempraktekkan lagom dalam kehidupan sehari-hari– pada apa yang kita makan, kenakan, hidup dan bekerja–bisa jadi adalah trik untuk meraih hidup yang seimbang, kehidupan yang berkesinambungan yang menghadirkan kebahagian daripada sekeder komsumsi.)
Bagaimana, sudah siap mempraktekkan gaya hidup lagom?
Ternyata ini rahasia kebahagian orang swedia… Sangat menarik mengetahui bagaimana mereka menjaga keseimbangan hidupnya ya.. makasih artikelnya.. 😀😀